Alkisah, di sebuah daerah di Maluku, ada seorang anak laki-laki yatim piatu bernama Yongker. Sebenarnya, anak sebatang kara itu berasal dari daerah Manipa. Namun, sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, ia kemudian pindah dan menetap di Benteng. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari Yongker mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar atau ditukar dengan barang lain yang ia perlukan.
Suatu pagi yang cerah, Yongker mendayung perahunya menuju Pantai Latulahat untuk mencari kayu bakar di gunung yang ada di sekitar pantai itu. Gunung itu dihampari oleh hutan belantara. Tidak lupa ia membawa bekal makanan secukupnya karena daerah itu cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Setiba di Tanjung Latulahat, Dusun Waimahu, Yongker menambatkan perahunya di akar sebuah pohon yang tumbuh di pinggir pantai. Sambil membawa bekalnya, ia berjalan mendaki gunung itu. Setiba di puncak, Yongker mulai bekerja. Ia tidak hanya mengumpulkan ranting kayu kering, tetapi juga memotong dahan-dahan kayu yang masih melekat di pohon. Dahan kayu yang masih basah itu tetap dibiarkan di tempat itu hingga beberapa hari dan baru dibawa pulang setelah kering. Lama-kelamaan, pepohonan di hutan itu menjadi tidak rindang karena semua dahannya telah habis dipangkasnya.
Saat hari menjelang siang, Yongker beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah sambil menyantap bekal makanan yang dibawanya. Setelah matahari terbenam, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Yongker segera membereskan kayu-kayu bakar yang telah dikumpulkannya untuk bergegas pulang. Namun, baru saja ia menuruni lembah gunung itu, waktu sudah keburu malam.
“Ah, sebaiknya aku menginap di sini saja,” gumam Yongker seraya mencari tempat yang aman untuk beristirahat.
Untung malam itu bulan purnama sedang memancarkan cahayanya yang terang sehingga Yongker dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan cukup jelas. Tak berapa lama kemudian, ia menemukan sebuah tanah lapang yang bersih. Tanah lapang itu ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau. Dengan perasaan senang, Yongker pun segera merebahkan tubuhnya di atas rerumputan itu. Tubuhnya terasa amat lelah dan mengantuk, namun hingga larut malam, ia sulit memejamkan mata karena banyak nyamuk yang mengganggunya.
Ketika Yongker sedang sibuk mengusir binatang-binatang pengisap darah yang hinggap di kakinya itu, seekor ular raksasa datang menelannya, dan memuntahkannya kembali sesaat kemudian. Tak ayal, ia pun terpelanting ke tanah hingga tak sadarkan diri. Begitu sadar, tiba-tiba ia mendengar suara bergemuruh seolah-olah bumi terbelah. Yongker menjadi ketakutan dan bulu romanya merinding. Pada saat yang bersamaan, seorang laki-laki tua yang bertubuh tinggi dan besar telah berdiri di depannya.
“Hai, anak muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?” tanya lelaki tua itu.
“Sa... saya Yongker dari Manipa, tapi tinggal di Benteng,” jawab Yongker dengan gugup.
“Mengapa kamu masuk ke tempatku dan merusak hutan yang ada di daerahku?” lelaki tua itu kembali bertanya.
Yongker semakin ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar seraya bersujud memohon ampun kepada lelaki tua itu.
“Ampunilah saya, Kek! Saya ini anak sebatang kara. Saya tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untuk bisa tertahan hidup, saya hanya mencari kayu bakar untuk saya jual ke pasar,” ungkap Yongker mengiba.
Lelaki tua itu pun terketuk hatinya setelah mendengar pengakuan Yongker.
“Wahai, anak muda. Apapun yang kamu minta dariku, pasti kukabulkan,” ujar lelaki tua itu.
“Maaf, Kek. Saya tidak akan meminta apa-apa kepada Kakek. Tapi, apapun yang Kakek berikan akan saya terima dengan senang hati,” jawab Yongker.
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang pejamkanlah matamu!” seru sang kakek seraya mengambil sepotong bulu yang secara tiba-tiba tumbuh tidak jauh di belakang Yongker.
Dengan kesaktiannya, kakek itu menusukkan bulu itu di kepala Yongker hingga tembus ke kaki dan segera mencabutnya kembali. Ajaibnya, anak yatim piatu itu tidak merasakan sakit sedikit pun di tubuhnya. Setelah bulu itu tercabut dari tubuhnya, kakek itu menyuruhnya untuk kembali membuka mata.
“Bukalah matamu pelan-pelan, Cucuku!” ujar si kakek.
Begitu matanya terbuka, Yongker merasa tubuhnya mendapat tambahan tenaga yang luar biasa.
“Apa yang terjadi dengan tubuhku, Kek? Kenapa tubuhku terasa jadi ringan dan penuh tenaga?” tanya anak yatim piatu itu dengan heran.
Kakek itu hanya tersenyum, lalu menceritakan apa yang baru saja dilakukannya terhadap tubuh Yongker.
“Ketahuilah, Cucuku! Aku telah memberimu ilmu kekebalan tubuh. Ilmu itu tidak hanya membuat tubuhmu kebal terhadap segala macam senjata tajam, benda tumpul, atau pun tangan kosong, tetapi juga memiliki kekuatan yang mahadahsyat untuk membela diri,” ujar kakek itu.
Kakek itu lantas berpesan kepada Yongker agar tetap menggunakan ilmu itu untuk kebaikan.
“Gunakanlah ilmu itu untuk menjaga diri dari binatang buas dan orang-orang jahat! Tapi, ingatlah, jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk kejahatan!”
“Baik Kek, terima kasih,” ucap Yongker, “Saya berjanji akan selalu memegang teguh pesan Kakek.”
Setelah berkata demikian, Yongker menoleh ke pohon bulu di belakangnya. Ia melihat bulu itu masih terlihat berdiri dengan tegak. Pada saat itu pula, ia melihat tujuh helai daun bulu itu terlepas dari tangkainya. Ketujuh helai daun bulu itu kemudian berterbangan ditiup angin hingga jatuh ke tengah-tengah laut. Alangkah terkejutnya Yongker ketika tiba-tiba melihat ada tujuh pulau kecil yang muncul di tempat daun itu terjatuh. Kini, pulau-pulau tersebut disebut dengan Pulau Tujuh.
Setelah menyaksikan peristiwa ajaib itu, Yongker kembali menoleh ke pohon bulu itu. Anak itu pun terheran-heran karena pohon bulu itu sudah tidak ada di tempatnya. Belum hilang keheranannya, kakek yang telah menolongnya juga pun hilang bersamaan dengan menghilangnya pohon bulu tersebut.
Pada esok hari, cepat-cepat Yongker kembali ke perkampungan dan menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Sejak itulah, anak yatim piatu itu terkenal dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya. Sesuai pesan kakek, Yongker senantiasa menggunakan ilmunya untuk menjaga diri dan menolong orang lain dari gangguan orang-orang jahat. Oleh penduduk Dusun Waimahu, Latulahat, tempat Yongker beristirahat yang hingga kini masih terlihat bersih itu dianggap sebagai tempat keramat. Sementara itu, pohon bulu yang dilihat Yongker disebut dengan nama Bulu Pamali karena tumbuh dan hilang secara misterius. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pohon bulu itu sewaktu-waktu muncul, namun hanya orang-orang yang mempunyai petuanan di daerah tersebut yang bisa melihatnya.
Demikian cerita Bulu Pamali dari daerah Provinsi Maluku. Nilai budaya yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa penduduk Dusun Waimahu senantiasa menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan sekitar agar tetap asri dan bersih. Pandangan ini muncul setelah melihat tempat Yongker bersitirahat yang selalu terlihat bersih. Selain itu, mereka juga senantiasa melestarikan pohon bulu karena dapat memberikan manfaat yang banyak bagi mereka, seperti dapat dijadikan sebagai alat penangkap ikan dan alat musik tradisional, bambu yang masih muda dapat dijadikan tali alami, dan tunas bambu (rebung) dapat dibuat sayur.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita tidak memasuki wilayah orang lain tanpa izin pemiliknya, apalagi merusaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Yongker. Untung kakek si pemilik wilayah hutan itu baik hati sehingga Yongker bebas dari hukuman. Bahkan, kakek itu memberinya ilmu kekebalan karena iba terhadap Yongker yang sebatang kara.
Please add Your Comment
Comment on smileambon