Manusia mungkin dikalahkan, tetapi tak pernah terkalahkan. Tubuh bisa dihancurkan, tetapi jiwa tak akan terhancurkan. Maka ketakutan dan kekhawatirannya, kebimbangan dan keterkucilannya, hanya sesaat dalam waktu yang nyata. Lalu kemudian akan sirna ke dalam keabadian. Namun, siapakah yang dapat menahan imajinasi manusia? Siapa yang mampu melarang apa yang bisa dan apa yang tak bisa untuk dipikirkan manusia? Seringkali, beban berat itu bukan karena harus melaksanakan aturan yang ditetapkan baginya, tetapi justru karena aturan itu sedemikian mudah dilanggar dan dianggap nihil sama sekali. Manusia mungkin dikalahkan, tetapi tak pernah, takkan pernah terkalahkan.
Demikianlah kita berjalan mengikuti sang waktu, kita berjalan bersama sang waktu, kita berjalan tanpa menyadari sang waktu, karena kita berjalan dengan beban pemikiran kita sendiri. Sebab, kita menerima kenyataan yang ada dengan kesadaran tentang waktu yang samasekali terlupakan selama kita menikmati kesibukan sehari-hari kita. Dan bukankah kita harus mengakui kebenaran, betapa seringnya kita harus mengatakan, bahwa kita tak punya waktu? Bahwa apa yang kita alami, apa yang kita hadapi, apa yang kita nikmati saat ini, bukanlah kita dalam waktu yang nyata, melainkan kita yang hidup dalam bayang-bayang ketak-sadaran, kealpaan dan ilusi tentang waktu yang tak nampak. Padahal kita semakin menua. Kita kian menua....
Lalu siapakah kita jika bukan kita yang bergerak dalam sejarah perjalanan waktu yang demikian tak terbatas ini? Siapakah kita jika bukan kita yang mengisi sepenggal demi sepenggal waktu yang demikian panjang dari awal keberadaan kehidupan hingga ke ujung yang tak teraih oleh pemikiran kita? Obsesi-obsesi kita, Ketakutan dan keraguan kita, kekecewaan dan keputus-asaan kita, kemungkinan-kemungkinan kondisi kita, keberadaan relatip kita, kelak, kemanakah semua itu akan berlabuh? Mengapa kadang kita begitu nekad, bahkan sering dengan perasaan sukarela dan tanpa pamrih, untuk mengorbankan kesempatan kita hanya demi untuk menyalakan api semangat yang kita anggap benar?
Benar? Apakah kebenaran itu? Sanggupkah kita memastikan suatu kebenaran? Yakinkah kita terhadap kebenaran itu? Kita, ya kita sendiri, diluar dari apa yang dianggap sebagai kebenaran oleh opini umum. Senyatanya, setiap kebenaran selalu mengandung keraguan dan ketidak-pastian. Dan siapa pun yang pernah menganggap kebenaran yang dimilikinya sebagai kebenaran mutlak, suatu saat kelak mungkin akan kecewa. Mungkin akan kecewa. Sebab kenyataan yang mendatanginya tidak sebagaimana kebenaran yang dibayangkannya. Sebab, antara pikiran dan tindakan, antara perasaan dan perbuatan, antara teori dan bukti nyata, seringkali terbentang jurang yang lebar. Jurang yang teramat lebar. Dan tak terseberangi.
Manusia memang bisa dikalahkan, tetapi tetap tak terkalahkan. Tubuh fisik kita mungkin dihancurkan, tetapi siapa yang bisa menentukan apa yang harus kita pikirkan, apa yang mesti kita impikan, apa yang harus kita imajinasikan? Siapa, selain kita sendiri? Keberadaan kita, dunia kita, hidup kita, berpusat pada apa yang kita pikirkan. Pada apa yang kita inginkan. Dan selama kita menghadapi hidup dengan menerima apa yang kita miliki, dan memanfaatkan apa yang kita punyai, serta melakukan apa yang kita sanggupi, kita tahu, bahwa kita tak terkalahkan. Takkan terkalahkan.
Maka pilihlah kemungkinan yang ada. Berjuanglah dengan jalanmu. Tetapi jangan menutup hati dengan pemikiran orang lain. Sebab manusia tak bisa dikalahkan hanya dengan pemaksaan dan kekerasan. Dan kami, kamu, mereka, kita semuanya adalah manusia yang sama dan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang sama pula. Di atas semuanya, Sang Pencipta memandang kita dengan penuh kesabaran. Dengan penuh kasih. Dan kita yang telah menerima keberadaan kita, harus mengalirkannya pula kepada sesama kita. Kepada dunia. Semuanya. Dan kelak, akan kita pertanggung-jawabkan pribadi demi pribadi atas apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini. Dalam hidup ini.
A. Tonny Sutedja
Demikianlah kita berjalan mengikuti sang waktu, kita berjalan bersama sang waktu, kita berjalan tanpa menyadari sang waktu, karena kita berjalan dengan beban pemikiran kita sendiri. Sebab, kita menerima kenyataan yang ada dengan kesadaran tentang waktu yang samasekali terlupakan selama kita menikmati kesibukan sehari-hari kita. Dan bukankah kita harus mengakui kebenaran, betapa seringnya kita harus mengatakan, bahwa kita tak punya waktu? Bahwa apa yang kita alami, apa yang kita hadapi, apa yang kita nikmati saat ini, bukanlah kita dalam waktu yang nyata, melainkan kita yang hidup dalam bayang-bayang ketak-sadaran, kealpaan dan ilusi tentang waktu yang tak nampak. Padahal kita semakin menua. Kita kian menua....
Lalu siapakah kita jika bukan kita yang bergerak dalam sejarah perjalanan waktu yang demikian tak terbatas ini? Siapakah kita jika bukan kita yang mengisi sepenggal demi sepenggal waktu yang demikian panjang dari awal keberadaan kehidupan hingga ke ujung yang tak teraih oleh pemikiran kita? Obsesi-obsesi kita, Ketakutan dan keraguan kita, kekecewaan dan keputus-asaan kita, kemungkinan-kemungkinan kondisi kita, keberadaan relatip kita, kelak, kemanakah semua itu akan berlabuh? Mengapa kadang kita begitu nekad, bahkan sering dengan perasaan sukarela dan tanpa pamrih, untuk mengorbankan kesempatan kita hanya demi untuk menyalakan api semangat yang kita anggap benar?
Benar? Apakah kebenaran itu? Sanggupkah kita memastikan suatu kebenaran? Yakinkah kita terhadap kebenaran itu? Kita, ya kita sendiri, diluar dari apa yang dianggap sebagai kebenaran oleh opini umum. Senyatanya, setiap kebenaran selalu mengandung keraguan dan ketidak-pastian. Dan siapa pun yang pernah menganggap kebenaran yang dimilikinya sebagai kebenaran mutlak, suatu saat kelak mungkin akan kecewa. Mungkin akan kecewa. Sebab kenyataan yang mendatanginya tidak sebagaimana kebenaran yang dibayangkannya. Sebab, antara pikiran dan tindakan, antara perasaan dan perbuatan, antara teori dan bukti nyata, seringkali terbentang jurang yang lebar. Jurang yang teramat lebar. Dan tak terseberangi.
Manusia memang bisa dikalahkan, tetapi tetap tak terkalahkan. Tubuh fisik kita mungkin dihancurkan, tetapi siapa yang bisa menentukan apa yang harus kita pikirkan, apa yang mesti kita impikan, apa yang harus kita imajinasikan? Siapa, selain kita sendiri? Keberadaan kita, dunia kita, hidup kita, berpusat pada apa yang kita pikirkan. Pada apa yang kita inginkan. Dan selama kita menghadapi hidup dengan menerima apa yang kita miliki, dan memanfaatkan apa yang kita punyai, serta melakukan apa yang kita sanggupi, kita tahu, bahwa kita tak terkalahkan. Takkan terkalahkan.
Maka pilihlah kemungkinan yang ada. Berjuanglah dengan jalanmu. Tetapi jangan menutup hati dengan pemikiran orang lain. Sebab manusia tak bisa dikalahkan hanya dengan pemaksaan dan kekerasan. Dan kami, kamu, mereka, kita semuanya adalah manusia yang sama dan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang sama pula. Di atas semuanya, Sang Pencipta memandang kita dengan penuh kesabaran. Dengan penuh kasih. Dan kita yang telah menerima keberadaan kita, harus mengalirkannya pula kepada sesama kita. Kepada dunia. Semuanya. Dan kelak, akan kita pertanggung-jawabkan pribadi demi pribadi atas apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini. Dalam hidup ini.
A. Tonny Sutedja
Please add Your Comment
Comment on smileambon