SEMUA orang yang mengerti sejarah konflik Israel-Arab, tentu tahu peristiwa “perang enam hari” tahun 1967.
Perang itu diawali provokasi negara-negara Arab, terutama Mesir, di mana
waktu itu Presiden Gamal Abdul Nasser memanas-manasi dunia Arab agar
mengenyahkan Israel. Rencana mengenyahkan Israel tersebut dimotivasi
antara lain sebagai wujud balas dendam atas kekalahan koalisi Arab pada
perang Arab-Israel tahun 1948.
Walhasil, militer dari negara-negara Arab, khususnya yang berbatasan dengan Israel, akhirnya standby
di perbatasan siap menyerbu. Hal ini terdeteksi oleh agen-agen spion
Israel yang kemudian memaksa pemerintah Israel untuk melakukan “serangan
pencegahan” atau dikenal dengan sebutan pre-emptive strike.
Sebenarnya,
keputusan untuk melakukan “serangan pencegahan” menjadi perdebatan di
kalangan internal pemerintah Israel. Pihak yang tidak setuju berargumen,
bahwa dengan menyerang duluan, Israel akan menuai kecaman dunia. Namun
pihak yang setuju berpendapat lain, bahwa jika Israel menunggu koalisi
Arab melakukan penyerangan duluan, bisa dipastikan Israel akan kalah.
Karena pada dasarnya kekuatan militer Israel (pada waktu itu) sangat
kecil dari segi kualitas dan kuantitas dibanding kekuatan militer
koalisi Arab.
Akhirnya keputusan pun dibuat. Israel melakukan serangan mendadak ke sejumlah penjuru negara-negara Arab pada 5 Juni 1967.
Serangan mendadak Israel tersebut berhasil. Hanya enam hari bertempur, kemenangan
berpihak pada Israel. Dengan telak Israel berhasil mengalahkan koalisi
Arab (Mesir, Yordania, dan Suriah plus bantuan dari Saudi Arabia,
Kuwait, Irak, Sudan dan Algeria) dan mencaplok semenanjung Sinai dan
Gaza dari Mesir, Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari
Suriah. Wilayah Israel meluas berlipat-lipat dari sebelumnya.
Dalam perang ini, yang menarik bukan kemenangan Israel sebenarnya, tapi apa yang dipunyai Israel untuk memenangkan peperangan itu. Sekilas, mungkin kita mengira Israel memiliki peralatan perang yang canggih dan banyak, sehingga negara-negara besar itu mundur dan kalah. Padahal tidak sama-sekali!
Israel hanya memiliki 264.000 pasukan reguler, dan 197 pesawat tempur.
Sementara musuhnya:
Mesir 150.000 pasukan reguler, Syria 75.000, Yordania 55.000 dan Saudi Arabia 20.000. Ditambah 812 pesawat tempur!
Total:
264.000 tentara Israel vs 300.000 tentara negara koalisi.
197 pesawat tempur Israel vs 812 pesawat tempur koalisi.
Pihak koalisi Arab tidak hanya menang dalam persenjataan dan personel perang, TAPI JUGA PADA KORBAN PERANGNYA!
Pihak Israel:
779 tewas
2.563 terluka
15 menjadi tawanan
Pihak koalisi Arab:
21.000 tewas
45.000 teluka
6000 menjadi tawanan Israel
Dan lebih dari 400 pesawat tempur koalisi Arab hancur!! (jumlah ini lebih banyak dari pesawat tempur yang dimiliki Israel!!)
Bagaimana mungkin negara-negara koalisi tersebut kalah perang melawan Israel yang kecil?
Amerika dan Inggris yang berkoalisi menumbangkan rezim Saddam, meski banyak diejek “pengecut” dan “beraninya main keroyokan”, masih lebih beruntung. Mereka menang dan Saddam berhasil digulingkan. Lha kalo negara koalisi yang menyerbu Israel tahun 1967?? Adakah kata yang lebih baik daripada “pengecut” dan “pecundang”??
Sejumlah nama di balik sukses Perang Enam Hari
PEMERINTAH
Israel sadar, bahwa negara kecil ini amat rentan terhadap serangan
negara-negara tetangganya yang tidak menyukai eksistensi negara Yahudi
di timur tengah. Israel tidak bisa bertahan semata mengandalkan kekuatan
militer. Upaya paling efektif adalah dengan memiliki kekuatan intelijen
yang baik, dan untuk itulah Mossad berdiri. Mata-mata Mossad memiliki
peran amat besar bagi kemenangan telak Israel atas keroyokan
negara-negara tetangganya. Di antara musuh-musuh Israel, Mesir dan
Suriah adalah yang tertangguh, untuk itulah Mossad menugaskan spion
terbaiknya memasuki jantung militer dua negara tersebut. Sejumlah nama
tercatat menjadi legenda yang dikenang sepanjang sejarah Israel. Dan
mereka adalah:
Eli CohenSebagian masa mudanya dihabiskan di Mesir. Ia adalah salah satu mahasiswa terpandai di Universitas King Farouk. Nama lengkapnya adalah Eliyahu ben Shaul Cohen. Wajahnya yang mirip orang Arab menjadi modal utamanya. Eli ditugaskan Mossad mengorek informasi kemiliteran Suriah. Dan untuk itu ia menyamar menjadi pedagang kaya dari Alexandria. Singkat cerita, kepiawaiannya membual membuat ia dengan mudah akrab dengan petinggi-petinggi Militer Suriah, di antaranya Mayor Amin al-Hafez yang kemudian menjadi Presiden Suriah. Bermodalkan persahabatan, Eli bebas keluar masuk jantung militer Suriah, dan dengan leluasa mengirimkan informasi ke Tel Aviv. Malang nasibnya, tak lama sebelum pecah “perang enam hari”, kedoknya terbongkar, dan untuk itu ia harus dihukum mati. Hanya prestasi kerjanyalah yang dapat membayar kematiannya. Berkat jasanya, tentara Israel berhasil menaklukan Dataran Tinggi Golan dengan amat mudah dan cepat.
Wolfgang Lotz
Setingkat di bawah Eli Cohen, tersebut nama Wolfgang Lotz. Mossad menugaskannya untuk mengorek informasi kemiliteran Mesir. Wajah Jerman dan keahliannya melatih kuda, menjadi modal utamanya dekat dengan petinggi-petinggi militer.
Di
udara, satu jet Mirage Israel harus melawan lima MiG-21 Arab, sebuah
bandingan yang tidak seimbang. Tetapi berkat jasa spionase Lotz,
Angkatan Udara Israel dapat meluluhlantakkan pesawat-pesawat tempur
Mesir dengan akurat sebelum mereka sempat lepas landas. Dalam setengah
hari, lebih dari 100 MiG-21 Mesir hancur di landasan. Hanya beberapa
saja yang mampu meyambut serangan Israel, itupun dengan mudah dapat
dikalahkan.
Sejatinya, Wolfgang Lotz adalah keturunan Yahudi dan berkewarganegaraan
Israel, tetapi tak seorang pun dari petinggi-petinggi militer Mesir yang
mengetahui. Bahkan hingga kedoknya terbongkar, Wolfgang Lotz masih
dikira orang Jerman murni. Selain karena tampang dan aksennya, juga
karena “anunya” tidak disunat sebagaimana layaknya pria Yahudi. Hal
itulah yang meloloskannya dari hukuman mati. Wolfgang Lotz dihukum
seumur hidup, tetapi setelah dua tahun masa hukumannya, ia dibebaskan
dengan pertukaran tawanan.Seorang Wanita Misterius
Adalah wanita misterius yang hingga kini tak diketahui pasti identitasnya, telah berhasil membujuk Kapten Pilot Irak, Munir Redfa membawa (tepatnya mencuri) MiG 21 milik Irak ke Israel, untuk diteliti kekuatan dan kelemahannya. Hasil penelitian ini kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa pesawat buatan Soviet tersebut amatlah tangguh jika dilawan di udara, apalagi dengan jumlahnya yang besar (5 banding 1 melawan Mirage Israel). Untuk itulah strategi “serangan darat” diputuskan. Israel menyerang MiG-21 Mesir sebelum mereka sempat lepas landas. Beberapa yang dapat terbang, diserang sebelum mencapai ketinggian 1000 meter, sebab disitulah ketidaksempurnaan Mig 21 akan terlihat.
Setelah membelot dari militer Irak, Kapten Munir Redfa dan keluarganya hidup dengan jaminan keamanan di Israel.
Israel telah membuktikan, bahwa kuantitas peralatan dan personel perang tidaklah menjamin kemenangan. Melainkan taktik dan strategi, serta kekuatan spionase yang handal yang dapat membantu banyak dalam sebuah peperangan.
Please add Your Comment
Comment on smileambon